Menulis Nama dan Gelar: Jangan Sampai Salah Lagi!
Pernah nggak sih kamu bingung bagaimana menulis nama dan gelar dengan benar? Salah tulis sedikit, bisa-bisa kamu dianggap nggak profesional atau—yang lebih parah—dikira sok tahu. Tenang, kamu nggak sendirian! Banyak orang masih keliru dalam hal ini, padahal aturannya sebenarnya sederhana.
Kenapa Menulis Nama dan Gelar Itu Penting?
Di dunia yang serba formal seperti sekarang, menulis nama dan gelar dengan benar adalah bentuk penghargaan. Bayangkan kalau kamu salah menulis gelar dokter jadi “dr.” (untuk dokter umum) padahal seharusnya “Dr.” (untuk doktor/S3)—bisa-bisa kamu dianggap merendahkan.
Contoh lain: menulis “Hj.” untuk haji atau hajah. Salah penempatan, salah kaprah. Nggak mau kan dapat komentar miring karena hal sepele seperti ini?
Aturan Dasar Menulis Nama dan Gelar
Mari kita bahas satu per satu:
1. Gelar Akademik
- Sarjana (S1): Ditulis di belakang nama, contoh: Budi Santoso, S.E. (Sarjana Ekonomi)
- Magister (S2): Contoh: Ani Wijaya, M.M. (Magister Manajemen)
- Doktor (S3): Gunakan “Dr.” di depan nama, contoh: Dr. Rina Setiawan, S.Pd., M.Pd.
Catatan penting: Gelar akademik nggak perlu ditulis semua. Biasanya cukup yang tertinggi, kecuali untuk keperluan formal tertentu.
2. Gelar Profesi
Ini yang sering bikin bingung:
- Dokter: “dr.” (huruf kecil semua) untuk dokter umum, ditempatkan di depan nama. Contoh: dr. Fitriani
- Dokter spesialis: Gunakan “dr.” lalu spesialisasi di belakang nama. Contoh: dr. Hendra Sp.OG (Spesialis Obstetri Ginekologi)
- Profesor: “Prof.” di depan nama. Contoh: Prof. Dr. Bambang Sudibyo
3. Gelar Keagamaan
Yang ini perlu hati-hati karena sensitif:
- Haji/Hajah: “H.” atau “Hj.” di depan nama. Contoh: H. Ahmad Dahlan
- Ustadz/Kyai: Bisa ditulis di depan nama atau tidak, tergantung kebiasaan. Contoh: Ustadz Yusuf Mansur atau Kyai Haji Ma’ruf Amin
Kesalahan Umum dalam Menulis Nama dan Gelar
Ini dia beberapa kesalahan yang sering banget terjadi:
- Menulis gelar dobel: “Dr. dr. Ahmad” (seharusnya cukup “Dr. Ahmad” jika sudah S3)
- Salah penempatan titik: “S.E” (seharusnya “S.E.”)
- Menggunakan gelar yang tidak resmi: “MBA” untuk lulusan dalam negeri (seharusnya “M.M.”)
- Menulis gelar asing untuk lulusan dalam negeri: “Ph.D” untuk doktor lulusan UI (seharusnya “Dr.”)
Tips Praktis Menulis Nama dan Gelar
Supaya nggak salah lagi, ikuti tips ini:
- Selalu cek situs resmi Kemdikbud untuk gelar terbaru
- Kalau ragu, tanya langsung ke yang bersangkutan
- Untuk dokumen resmi, gunakan format baku
- Jangan asal singkat gelar yang nggak umum
Fakta Menarik Tentang Penulisan Gelar
Fakta Unik: Tahukah kamu? Di beberapa negara Eropa, gelar akademik justru dianggap kurang penting dalam komunikasi sehari-hari. Mereka lebih sering menggunakan nama tanpa gelar, bahkan dalam situasi formal sekalipun!
Berbeda dengan Indonesia yang sangat menghargai gelar, di Jerman misalnya, kamu jarang melihat orang menyebut “Dr.” kecuali dalam konteks akademik yang sangat formal. Bahkan kanselir Jerman Angela Merkel yang bergelar doktor jarang disebut “Dr. Merkel”.
Kasus-Kasus Unik Penulisan Gelar
Beberapa kasus menarik tentang menulis nama dan gelar:
- Presiden kita, Joko Widodo, secara resmi bergelar Ir. (Insinyur) tapi hampir tidak pernah menggunakan gelar tersebut dalam kegiatan kenegaraan.
- Di dunia internasional, gelar “Dr.” bisa merujuk pada dokter medis atau doktor akademik, tergantung konteks.
- Gelar kehormatan (honoris causa) biasanya ditulis dengan “HC” di belakang gelar, contoh: Dr. (HC) Anies Baswedan.
Penutup
Menulis nama dan gelar dengan benar sebenarnya nggak sulit, asal kamu tahu aturan dasarnya. Ingat, ini bukan sekadar masalah teknis, tapi juga bentuk penghormatan kepada pemilik gelar. Sekali lagi, kalau ragu, lebih baik tanya langsung atau cek sumber resmi.
Dengan memahami cara menulis nama dan gelar yang benar, kamu akan terlihat lebih profesional dalam berbagai situasi—mulai dari urusan pekerjaan sampai acara formal. Jadi, jangan sampai salah lagi ya!
Fakta Bonus: Di Indonesia, gelar akademik sering dianggap sebagai prestise sosial. Data menunjukkan pemilik gelar doktor (S3) di Indonesia hanya sekitar 0,05% dari total populasi!